Yang
Salah Bukan Baju, Tapi Pemerkosa
Saya sering membaca beberapa artikel
tentang pemerkosaan yang menyudutkan posisi wanita. Ada artikel yang
menyebutkan bahwa perempuan menunjukan aurat berati ia ingin di perkosa. Kemudian
pada artikel lain saya menemukan ada seorang pejabat daerah di Indonesia yang
beropini menghalalkan pemerkosaan karena dianggap sebagai hukuman bagi wanita
yang tidak bisa menutup aurat, dan beberapa opini yang mengatakan bahwa wanita
yg memakai baju tidak sesuai harus dihukum dengan diperkosa. Miris rasanya
membaca hal itu. Dan saya rasa mungkin moral mereka yang mengatakan demikian
tidak lebih baik dari si wanita itu sendiri.
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah realita bahwa wanita seringkali menjadi sasaran
favorit bagi para pelaku kejahatan.
Pemerkosaan menjadi salah satu tindak kejahatan yang tidak jarang terjadi dan
memposisikan wanita sebagai korbannya. Adapun pemerkosaan sendiri merupakan
suatu tindakan pelampiasan nafsu seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap
perempuan secara paksa. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi
segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan bagian tubuh pribadi
seseorang.
Lepas dari itu, stigma yang
berkembang dalam beberapa masyarakat bahwa wanita menjadi pemicu tindak
kejahatan itu sendiri. Wanita telah menjadi korban, dan sekarang menjadi objek
yang disalahkan pula. Lalu degradasi moral macam apakah yang terjadi pada
orang-orang yang berpendapat demikian?
Miris rasanya mendengar anggapan
mereka yang menganggap wanita sebagai godaan. Mereka menganalogikan wanita
dengan benda. Padahal terjadinya permerkosaan adalah murni kejahatan seksual
dan itu terjadi karena moralnya pemerkosa yang bejad, tidak menghargai wanita
sebagai manusia yang patut di kasihi. Pelecehan terhadap kaum hawa karena sang
lelaki merasa berkuasa atas hidup wanita.
Sepertinya tidak terlalu berlebihan
jika saya menganggap orang-orang yang berpendapat demikian adalah orang yang
berotak dangkal dan bermoral rendah. Open your eyes, dan lihat sekitar sebelum
berbicara. Apakah negara Arab Saudi yang relatif "steril" terhadap
materi pornografi dan pakaian “minim” bebas perkosaan dan kekerasan seksual?
Ternyata TIDAK. Dari data yang pernah saya baca beberapa tahun yang lalu, Arab
Saudi masih masuk dalam 62 negara dengan tingkat pemerkosaan tertinggi. ( Dan
sebagai selingan, negara tetangga kita yang sering meng’klaim wilayah dan
budaya kita itu berada jauh di atas Indonesia dalam tingkat pemerkosaan.
Hehehe. ) dalam hal ini Weighted averagenya: 0.1 per 1,000 people .
Jepang sendiri sebagai negara pengkomsumsi materi pornografi yang besar,
nyatanya memiliki tingkat pemerkosaan lebih rendah dibanding negara-negara maju
yang lain. Lalu apakah berarti pakaian dan materi pornografi itu mejadi faktor
utama yang patut disalahkan dalam tindak kejahatan ini? Saya rasa tidak! Moral
pelaku dan oknum yang beranggapan demikianlah yang menjadi FAKTOR PALING UTAMA
yang mempengaruhi tindak kejahatan ini.
Bagaimana tidak? Jika moral manusia
itu baik dan memiliki pemikiran yang “waras” dan tidak sepicik itu, tentunya
tindak kejahatan tersebut bisa diminimalkan. Minimal dengan merubah paradigma
masyarakat yang masih meng’kambinghitam’kan wanita dalam permasalahan ini.
Kalau dalam ilmu ekonomi, anggapan dan cara pandang mereka terhadap hubungan
pakaian wanita dan pemerkosaan mungkin seperti barang komplemen. Suatu barang
disebut komplemen dimana jika peningkatan komsumsi barang yang satu
meningkatkan komsumsi barang lain. Contoh klasiknya seperti rokok dan kopi,
beer dan kacang, junkfood dan minuman bersoda. Nah, paradigma inilah yang
sepertinya kurang tepat. Dimana sebenarnya ada korelasi negatif antara pakaian
dan pemerkosaan.
Namun bukan berarti saya
mensosialkan berpakaian minim atau membenarkan tentang kebesasan berpakaian
tersebut. Memang tidak bisa disamakan Indonesia dengan negara barat. Lepas dari
itu jika dibandingkan dengan norma dan adat, hal tersebut memang kurang pantas.
Namun bukan berarti memperkosa dianggap pantas. Jadi sebelum mendjudge orang, alangkah bijaksananya jika
instropeksi terlebih dahulu. Toh belum tentu moral anda yang menyalahkan wanita
berpakaian minim lebih tinggi daripada wanita itu sendiri. Lebih bejat mana
coba dengan memperkosa?
Perkosaan sebagai
salah satu bentuk
kekerasan jelas dilakukan
dengan adanya paksaan baik
secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak
sosial bagi perempuan yang menjadi
korban perkosaan tersebut.
Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai
persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya.
Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan
akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992). Korban perkosaan itu sendiri dapat
mengalami akibat yang
sangat serius baik
secara fisik maupun psikologis.
Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: kerusakan
organ tubuh seperti robeknya selaput
dara, pingsan, meninggal, tertular penyakit seksual dan
bahkan mungkin terinveksi HIV AIDS, dan kehamilan yang tidak dikehendaki.
Sementara
itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena
peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi
korban. Goncangan kejiwaan dapat
dialami pada saat
perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan
dapat disertai dengan
reaksi-reaksi fisik (Taslim,
1995). Secara umum peristiwa
tersebut dapat menimbulkan
dampak jangka pendek
maupun jangka panjang. Keduanya
merupakan suatu proses
adaptasi setelah seseorang
mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat
menjadi murung, menangis, mengucilkan
diri,menyesali diri, merasa
takut, dan sebagainya.
Trauma yang dialami oleh
korban perkosaan ini
tidak sama antara
satu korban dengan
korban yang lain.
Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup
mereka, tingkat religiusitas yang berbeda,
perlakuan saat perkosaan,
situasi saat perkosaan,
maupun hubungan antara pelaku dengan korban.
Dari segi psikologis biasanya korban
merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan
emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia),
kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini
berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala
yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa
tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati,
2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari
masalah yang dihadapinya. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi
karena manusia memiliki insting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh
korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah
karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.
Lalu
sadarkah beberapa orang itu terhadap dampak yang ditimbulkan?
Satu yang perlu saya ungkapkan dan
pertanyakan bahwa bagaimana jika posisi kalian menjadi wanita? Jadi saya rasa
mereka adalah sekelompok orang sok tahu yang memposisikan dirinya sebagai
seseorang yang benar karena mereka tidak pernah tau rasanya menjadi wanita.
wah mbaknya nulisnya pake emosi banjet deh...
ReplyDelete