Friday 9 December 2011

yang salah bukan baju, tapi pemerkosa !


Yang Salah Bukan Baju, Tapi Pemerkosa

            Saya sering membaca beberapa artikel tentang pemerkosaan yang menyudutkan posisi wanita. Ada artikel yang menyebutkan bahwa perempuan menunjukan aurat berati ia ingin di perkosa. Kemudian pada artikel lain saya menemukan ada seorang pejabat daerah di Indonesia yang beropini menghalalkan pemerkosaan karena dianggap sebagai hukuman bagi wanita yang tidak bisa menutup aurat, dan beberapa opini yang mengatakan bahwa wanita yg memakai baju tidak sesuai harus dihukum dengan diperkosa. Miris rasanya membaca hal itu. Dan saya rasa mungkin moral mereka yang mengatakan demikian tidak lebih baik dari si wanita itu sendiri.
            Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah realita bahwa wanita seringkali menjadi sasaran favorit bagi para pelaku kejahatan. Pemerkosaan menjadi salah satu tindak kejahatan yang tidak jarang terjadi dan memposisikan wanita sebagai korbannya. Adapun pemerkosaan sendiri merupakan suatu tindakan pelampiasan nafsu seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan secara paksa. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan bagian tubuh pribadi seseorang.
            Lepas dari itu, stigma yang berkembang dalam beberapa masyarakat bahwa wanita menjadi pemicu tindak kejahatan itu sendiri. Wanita telah menjadi korban, dan sekarang menjadi objek yang disalahkan pula. Lalu degradasi moral macam apakah yang terjadi pada orang-orang yang berpendapat demikian?
             Miris rasanya mendengar anggapan mereka yang menganggap wanita sebagai godaan. Mereka menganalogikan wanita dengan benda. Padahal terjadinya permerkosaan adalah murni kejahatan seksual dan itu terjadi karena moralnya pemerkosa yang bejad, tidak menghargai wanita sebagai manusia yang patut di kasihi. Pelecehan terhadap kaum hawa karena sang lelaki merasa berkuasa atas hidup wanita.
            Sepertinya tidak terlalu berlebihan jika saya menganggap orang-orang yang berpendapat demikian adalah orang yang berotak dangkal dan bermoral rendah. Open your eyes, dan lihat sekitar sebelum berbicara. Apakah negara Arab Saudi yang relatif "steril" terhadap materi pornografi dan pakaian “minim” bebas perkosaan dan kekerasan seksual? Ternyata TIDAK. Dari data yang pernah saya baca beberapa tahun yang lalu, Arab Saudi masih masuk dalam 62 negara dengan tingkat pemerkosaan tertinggi. ( Dan sebagai selingan, negara tetangga kita yang sering meng’klaim wilayah dan budaya kita itu berada jauh di atas Indonesia dalam tingkat pemerkosaan. Hehehe. ) dalam hal ini Weighted averagenya: 0.1 per 1,000 people . Jepang sendiri sebagai negara pengkomsumsi materi pornografi yang besar, nyatanya memiliki tingkat pemerkosaan lebih rendah dibanding negara-negara maju yang lain. Lalu apakah berarti pakaian dan materi pornografi itu mejadi faktor utama yang patut disalahkan dalam tindak kejahatan ini? Saya rasa tidak! Moral pelaku dan oknum yang beranggapan demikianlah yang menjadi FAKTOR PALING UTAMA yang mempengaruhi tindak kejahatan ini.
            Bagaimana tidak? Jika moral manusia itu baik dan memiliki pemikiran yang “waras” dan tidak sepicik itu, tentunya tindak kejahatan tersebut bisa diminimalkan. Minimal dengan merubah paradigma masyarakat yang masih meng’kambinghitam’kan wanita dalam permasalahan ini. Kalau dalam ilmu ekonomi, anggapan dan cara pandang mereka terhadap hubungan pakaian wanita dan pemerkosaan mungkin seperti barang komplemen. Suatu barang disebut komplemen dimana jika peningkatan komsumsi barang yang satu meningkatkan komsumsi barang lain. Contoh klasiknya seperti rokok dan kopi, beer dan kacang, junkfood dan minuman bersoda. Nah, paradigma inilah yang sepertinya kurang tepat. Dimana sebenarnya ada korelasi negatif antara pakaian dan pemerkosaan.
            Namun bukan berarti saya mensosialkan berpakaian minim atau membenarkan tentang kebesasan berpakaian tersebut. Memang tidak bisa disamakan Indonesia dengan negara barat. Lepas dari itu jika dibandingkan dengan norma dan adat, hal tersebut memang kurang pantas. Namun bukan berarti memperkosa dianggap pantas. Jadi sebelum mendjudge orang, alangkah bijaksananya jika instropeksi terlebih dahulu. Toh belum tentu moral anda yang menyalahkan wanita berpakaian minim lebih tinggi daripada wanita itu sendiri. Lebih bejat mana coba dengan memperkosa?
            Perkosaan  sebagai  salah  satu  bentuk  kekerasan  jelas  dilakukan  dengan  adanya paksaan  baik  secara  halus  maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan   yang   menjadi   korban   perkosaan   tersebut.   Hubungan   seksual   seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992). Korban  perkosaan itu sendiri  dapat  mengalami  akibat  yang  sangat  serius  baik  secara  fisik maupun psikologis. Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain:   kerusakan  organ  tubuh  seperti robeknya  selaput  dara,  pingsan,  meninggal, tertular penyakit seksual dan bahkan mungkin terinveksi HIV AIDS, dan kehamilan yang tidak dikehendaki.
            Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan  kejiwaan  dapat  dialami  pada  saat  perkosaan  maupun  sesudahnya. Goncangan  kejiwaan  dapat  disertai  dengan  reaksi-reaksi  fisik  (Taslim,  1995).  Secara umum  peristiwa  tersebut  dapat  menimbulkan  dampak  jangka  pendek  maupun  jangka panjang.   Keduanya   merupakan   suatu   proses   adaptasi   setelah   seseorang   mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan  diri,menyesali  diri,  merasa  takut,  dan  sebagainya.  Trauma  yang  dialami oleh  korban  perkosaan  ini  tidak  sama  antara  satu  korban  dengan  korban  yang  lain.  Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas   yang   berbeda,   perlakuan   saat   perkosaan,   situasi   saat   perkosaan,   maupun hubungan antara pelaku dengan korban.
            Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki insting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.
            Lalu sadarkah beberapa orang itu terhadap dampak yang ditimbulkan?
         Satu yang perlu saya ungkapkan dan pertanyakan bahwa bagaimana jika posisi kalian menjadi wanita? Jadi saya rasa mereka adalah sekelompok orang sok tahu yang memposisikan dirinya sebagai seseorang yang benar karena mereka tidak pernah tau rasanya menjadi wanita.       




1 comment: